free page hit counter

Fenomena Investor FOMO, Belajar dari IPO Bukalapak

Artikel diperbarui pada 24 Desember 2021.

Investor FOMO layak terikat pada mereka yang membeli saham berdasarkan tren saja atau sekadar mengikuti. Tanpa melakukan penelitian dan analisis independen terlebih dahulu. Fenomena ini didorong oleh semakin banyaknya investor swasta di Tanah Air.

FOMO adalah singkatan dari Fear Of Missing Out. Ekspresi untuk seseorang yang takut kehilangan sesuatu yang baru, seperti berita atau tren. Mereka yang mengalami FOMO cenderung menghabiskan waktu mencari tahu apa yang dibicarakan orang banyak. Ketakutan mereka adalah ketinggalan informasi dalam percakapan atau ruang diskusi dengan orang lain. Namun, FOMO memiliki dampak yang berbahaya jika diterapkan pada investasi ekuitas.

Merujuk data yang dirilis Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), jumlah investor pasar modal hingga akhir September 2021 mencapai lebih dari 6,43 juta investor. Terjadi peningkatan sebesar 5,41% dibandingkan Agustus yang mencapai 6,10 juta investor. Jumlah investor pada akhir tahun 2020 sebanyak 3,88 juta investor, sepanjang tahun 2021 telah tumbuh sebesar 65,73%.

Saat membuat keputusan perdagangan, investor pemula lebih sensitif terhadap berita, rekomendasi influencer, atau rekomendasi saham teman. Mereka yang tidak mengerti analisis teknis atau fundamental akan mengandalkan sentimen eksternal saat melakukan perdagangan. Minimnya pengetahuan dan pengalaman membuat mereka cenderung membeli saham yang banyak dibicarakan. Bahkan jika kamu tidak tahu apa-apa tentang perusahaan yang dibeli, termasuk kinerja, laporan keuangan, atau prospeknya.

Suteja dan Gunardi (2016) mengungkapkan bahwa informasi yang diterima investor merupakan dasar pengambilan keputusan, termasuk makro dan mikro. Informasi yang beredar akan menjadi motor penggerak perdagangan dan menyebabkan harga saham naik atau turun. Seperti hukum ekonomi, harga saham naik ketika ada lebih banyak permintaan daripada penawaran, dan sebaliknya.

Kondisi ini bertentangan dengan pertimbangan ideal investor saat membeli saham. Fomburn (1996) menjelaskan bahwa ada tiga aspek yang perlu diperhatikan. Pertama, profit, investor cenderung memilih perusahaan yang mencatat profit tinggi. Laba akan mempengaruhi jumlah dividen yang diterima investor di masa yang akan datang. Kedua, Stabilitas, perusahaan yang menjalankan bisnis secara stabil dan berkelanjutan akan mengurangi risiko investor dalam menyimpan uangnya. Ketiga, outlook, investor tidak hanya membeli saham untuk hari ini, tetapi juga untuk masa depan. Perusahaan dengan visi dan perkiraan pertumbuhan akan lebih menarik bagi investor.

FOMO pada IPO Bukalapak

FOMO bisa kita temukan pada saham-saham pada momentum IPO Bukalapak. Banyaknya berita dan rekomendasi dari tokoh masyarakat telah mendorong investor swasta untuk memburu IPO perusahaan. Rencana IPO Bukalapak telah bergema di media massa sejak Februari 2021. Bahkan, di penghujung tahun 2020, wacana IPO Bukalapak sempat menjadi headline. Kabar tersebut semakin membesar jelang waktu resminya Bukalapak dengan kode emiten BUKA akan mulai diperdagangkan di BEI pada 6 Agustus 2021.

Alhasil, pada hari pertama perdagangan saham Bukalapak di BEI, emiten dengan harga penawaran Rp850 itu mengalami kenaikan sebesar 24,71%. Saham Bukalapak bahkan sempat mengalami Upper Auto Rejection (ARA) hingga mencapai harga penutupan Rp1.060 per saham. Hanya lima menit setelah bursa dibuka, tepatnya pukul 09.05 WIB, perdagangan saham Bukalapak mencapai Rp 320,86 miliar. Alhasil, nilai kapitalisasi pasar Bukalapak meningkat menjadi Rp 109,25 triliun dari nilai kapitalisasi awal sebesar Rp 86,7 triliun.

Hari perdagangan kedua, saham Bukalapak kembali melewati batas ARA dengan kenaikan 25% hingga menyentuh harga Rp1.325 per saham pada penutupan. Berita reli yang kuat di hari pertama membuat investor lain ingin menantikannya. Total transaksi pada hari itu mencapai Rp50,17 miliar. Dengan kenaikan tersebut, nilai kapitalisasi pasar Bukalapak kembali naik menjadi Rp136,56 triliun.

Kisah manis IPO Bukalapak tak bertahan lama. Pada perdagangan hari ketiga, harga saham turun melewati batas Lower Auto Rejection (ARB) yang mencapai 6,76% di harga Rp 1.035. Turunnya harga saham Bukalapak disebabkan investor asing mengambil untung dari saham senilai Rp 152,96 miliar. untuk menjual. Angka tersebut menjadikan Bukalapak sebagai saham yang paling banyak diperdagangkan secara publik pada Selasa, 10 Agustus 2021. Tren penurunan berlanjut hingga hari-hari berikutnya, memukul ARB lima kali berturut-turut.

Iklim investasi yang tumbuh harus dijaga, bahkan diperkuat. Pengalaman buruk yang berulang bagi investor swasta akibat kerugian dapat menjadi penghambat dan memberikan tekanan pada pasar modal negara.

Dampak laten lainnya adalah trauma atau ketakutan investor membeli saham IPO perusahaan teknologi. Bahkan, perkembangan startup berbasis teknologi di Indonesia berkembang pesat. Ketua Dewan Pengawas Otoritas Belanda untuk Pasar Keuangan (OJK) menyatakan ada 2.100 perusahaan rintisan di negara itu hingga periode September 2021. Tujuh dari mereka adalah unicorn dan dua di tingkat decacorn.

Saya pernah mendengar cerita seorang teman yang ingin menggandakan uangnya dengan perdagangan saham. Dana yang digunakan adalah modal nikah, dengan harapan uangnya berlipat ganda. Pria ini terpacu untuk melihat kesuksesan para pedagang saham yang seolah-olah mudah meraup untung dari pasar modal. Namun, saham yang sempat naik tiga hari sebelumnya saat dibeli, turun tajam. Pada akhirnya, ia memilih untuk menunda pernikahan tanpa batas waktu, berharap harga sahamnya akan kembali naik.

Dua pelajaran dapat dipetik dari pengalaman di atas bagi investor FOMO. Investasikan dengan uang dingin dulu, bukan dengan uang untuk kebutuhan sehari-hari. Cold money adalah dana investasi khusus yang jika hilang tidak akan mengganggu rutinitas setidaknya selama satu tahun ke depan. Kedua, jangan membeli atas dasar mengikuti tren saja. Pelajari metode analisis independen untuk meminimalkan risiko investasi.